Tuesday, October 21, 2008

Sunday, October 12, 2008

Depresi pada Lansia

.


Manusia lanjut usia (lansia) yang menderita depresi mempunyai resiko bunuh diri. Hal ini telah banyak dialami lansia di Amerika, Hongkong, Australia serta dapat pula terjadi di Indonesia.

Dr. Martina W.S Nasrun, SpKJ mengungkapkan hal itu di Sanatorium Dharmawangsa Jakarta, Sabtu (31/8).

Martina mengungkapkan, untuk meminimalisir resiko depresi pada lansia harus dilakukan tindakan antisipatif secepat mungkin.

?Jika tidak, dapat terjadi akibat-akibat yang serius. Untuk itu penanganan termasuk melalui pengobatan harus dilakukan secepat mungkin segera setelah lansia terlihat mengalami depresi,? ujar Martina yang membawakan makalah yang berjudul Energik di Usia Senja.

Martina menuturkan, sebagaimana manusia berusia muda, lansia sebenarnya tetap dapat menikmati hidup. ?Lansia sebenarnya tidak identik dengan kondisi fisik yang lemah, tidak punya beraktivitas serta malas bermesraan dengan pasangannya. Itu semua bisa diatasi jika depresi dapat dihilangkan,? ujar dia.

Gejala depresi pada lansia, menurut Martina, tidak berbeda dengan gejala depresi umum yaitu tidak ada gairah, hilangnya nafsu makan, tidak dapat tidur nyenyak, tidak memiliki minat atau hobi serta terus dilanda lesu, letih dan murung.

Namun, selain gejala-gejala umum diatas, khusus pada lansia gejala depresi juga terlihat pada rasa letih dan lesu yang terus menerus, tidak ada gairah atau semangat, Terkadang lansia yang depresi terlihat begitu sedih dan tertekan sehingga sering menangis. Lansia juga sering merasa dirinya lebih lamban, dan memiliki kekhawatiran terhadap kesehatan dan keuangan.

Sedangkan keluhan fisik biasanya terwujud pada perasaan fisik seperti nyeri, merasa putus asa dan tidak berarti, berat badan berubah drastic serta mengalami sulit tidur dan sulit berkonsentrasi.

Gejala fisik pada lansia penderita depresi juga terlihat pada keluarnya keringat yang berlebihan, sesak napas, nyeri kepala, nyeri otot, kejang usus atau kolik, muntah, diare serta berdebar-debar.

Martina juga meluruskan stigma yang saat ini telah melekat di kalangan masyarakat yang seringkali menganggap depresi di kalangan lansia sebagai kondisi yang normal. Padahal, kata dia, penanganan atas depresi pada lansia memerlukan penanganan yang serius dan dilakukan secepat mungkin.

Depresi di kalangan lansia seringkali terjadi bersamaan dengan penyakit ketuaan lainnya yaitu arthritis, jantung, Parkinson, Alzheimer dan stroke dan seringkali dianggap sebagai bagian dai penyakit ketuaan itu.

Banyak orang, termasuk lansia merasa bahwa depresi merupakan kelemahan dari kepribadian/ keimanan. Pandangan ini salah, karena depresi merupakan suatu penyakit medis yang dapat diobati.

Terjadinya depresi secara biologik dipacu dengan perubahan neurotransmitter, penyakit sistemik dan penyakit degenetif. Sedangkan secara psikologik gejalanya kehilangan harga diri/martabat, kehilangan secara fisik orang dan benda yang disayangi serta gejala sosial ditandai oleh kesulitan ekonomi seperti tak punya tempat tinggal.

Penanganan depresi, kata Martina, lebih dini akan lebih baik serta menghasilkan gejala perbaikan yang lebih cepat. Depresi yang lambat ditangani akan menjadi lebih parah, menetap serta menimbulkan resiko kekambuhan. Depresi yang dapat ditangani dengan baik juga dapat menghilangkan keinginan pasien untuk melukai dirinya sendiri termasuk upaya bunuh diri.

?Selain itu, tanpa depresi, walaupun sudah lansia mereka akan lebih berani menghadapi masa depan,? ujar Martina.

Menurut Martina, penyebab depresi adalah zat-zat kimia didalam otak (neurotransmitter) tidak seimbang. Neurotransmitter sendiri adalah zat kimia yang membantu komunikasi antar sel-sel otak.

TerapiTerapi depresi untuk mencapai kondisi revitalitas adalah depresi untuk mengatasi diabetes atau hipertensi. Untuk itu pertolongan dari dokter perlu dilakukan segera. Tujuan terapi adalah mengatasi gejala depresi sehingga pasien dapat hidup normal lagi dalam kehangatan keluarga, teman-teman dan komunitasnya.

Terdapat beberapa pilihan terapi yang dapat diambil yaitu obat anti depresi, psikoterapi, terapi elektrrokonvulsi (shock theraphy), perubahan gaya hidup, tatalaksana kecemasan dan terapi keluarga.

Terdapat beberapa pilihan obat anti depresi yaitu jenis selective serotonin reuptake inhibitors (SSRIs): Prozac (fluoxetine), Zoloft (setra;ine), Cipram (citalopram) dan Paxil (paroxetine). Jenis NASSA : Remeron (mirtazapine). Jenis Tricylic antidepresan: Tofranil (imipramine) dan Norpramin (desipramine). Reversible inhibitor Mono Amine Oxidase (RIMA)Inhibitors : Aurorix. Stablon (Tianeptine).

Sedangkan terapi psikoterapi diupayakan dapat mengatasi perasaan negatif dan rasa takut. Terapi ini dapat membentu pasien untuk mengenali dan mengubah cara pikir dan perilaku negatif.

Psikoterapi juga diharapkan untuk membantu pasien agar lebih mampu berinteraksi dan berkomunikasi dengan orang lain. Psikoterapi yang dapat ditempuh dengan sesi pembicaraan dengan psikiater dan psikolog dapat membantu pasien melihat bahwa perasaan yang dialaminya juga dapat terjadi pada orang lain namun karena menderita depresi ia mengalami kondisi yang berlebihan atas perasaannya sendiri.

Selain itu, lanjut Martina pasien juga disarankan untuk mengubah pola hidup misalnya dengan membiasakan berolah raga untuk meningkatkan gairah hidup. Pasien dibiasakan berjalan kaki setiap pagi atau sore sehingga energi dapat ditingkatkan serta mengurangi stress karena kadar norepinefrin meningkat.

Selain itu, pasien juga dapat diperkenalkan pada kebiasaan meditasi serta yoga untuk menenangkan pikirannya. Diet sehat untuk mengurangi asupan gizi yang menambah kadar stress juga perlu dilakukan.

?Namun sebaiknya semua perubahan pola hidup perlu didiskusikan dulu dengan dokter sehingga dapat dipilih pola olaharaga maupun diet yang paling tepat,? ujar Martina.

Martina juga mengingatkan, pengobatan depresi pada lansia harus dilakukan secara sabar karena reaksi dari masing-masing pasien akan bereaksi secara berbeda.

Selain menggunakan terapi obat, dokter juga dapat menempuh penggunaan Electroconvulsive Therapy (ECT) dengan cara shock therapy untuk pasien yang tidak memberi respon positif terhadap obat antidepresan dan psikoterapi. ECT bekerja untuk menyeimbangkan unsur kimia pada otak, dirasa cukup aman dan efektif serta dapat diulang 3 kali seminggu sampai pasien menunjukan perbaikan. Efek samping ECT adalah kehilangan kesadaran semenara pada pasien namun cyukup efektif untuk mengurangi resiko bunuh diri pada pasien tertentu.

Martina juga menekankan, peranan pasien untuk menumbuhkan kepercayaan pada diri sendiri bahwa dirinya dapat pulih sangat diperlukan. Pasien dihjarapakan dapat berkomunikasi dengan dokter untuk mendapat informasi yang cukup serta menceritakan gejala yang dialaminya, obat yang diminum serta mengetahui efek samping obat yang dikonsumsinya.

Kepada anggota keleuarga yang memiliki lansia, tanyakan pada mereka apakah mereka cukup puas dengan kehidupan yang dijalaninya?, Merasa hidup ini kosong, takut akan hal buruk yang akan menimpanya serta tidak merasa bahagia, jika jawabannya negatif, berarti ada sesuatu yang harus diluruskan,? kata dia.

(dikutip dari Lansia Depresi Rawan Aksi Bunuh Diri
Selasa, 03 Sep 2002 12:06:34, Pdpersi, Jakarta )

Thursday, October 2, 2008

How to Live to 100

.


Live Longer, Better, Wiser
How To Live To 100
By Dr. Mark Liponis
Publication Date: 03/09/2008

With advances in medicine, healthier eating habits and less smoking, people have a greater possibility of living to 100 than at any time in recorded history. Here are some great ways to increase your chances:

Eat a Heart-Healthy Diet

A Mediterranean diet has been shown to be the best choice for healthy aging and disease prevention. On the list of countries in the world ranked by average lifespan, France, Italy, Greece, Spain and Israel are in the top 25; the U.S. ranks 45th. A Mediterranean diet is rich in colorful fruits and vegetables, olive oil, fish and whole grains with few processed, packaged or refined foods. Research shows it reduces the risk of cardiovascular disease more effectively than other diets, including low-fat diets.

Read the Newspaper

Centenarians are likely to be engaged in current events and take an active interest in what’s happening in the world around them. Becoming disconnected, isolated or withdrawn can mark the beginning of deterioration and loss of function. Staying connected and current keeps your brain working and increases your sense of purpose.

Go Forth and Multiply

Having kids—especially if you’re a woman—can help you live longer. In fact, giving birth after age 40 more than quadruples a woman’s chances of living to 100. Studies also confirm that men who father children live longer, especially if they start raising a family at a younger age.

Drink Up!

Studies indicate that you may live longer by drinking certain beverages—especially tea (more than four cups a day of green, black or oolong). Tea drinkers have lower rates of death from cardiovascular disease and other causes. Moderate wine intake (up to 5 ounces a day for women, up to 10 ounces a day for men) also has been found to reduce the risk of cardiovascular disease. Coffee is another potential “health drink,” with studies showing that moderate coffee intake is helpful in preventing diabetes, gallstones, Parkinson’s disease, cirrhosis, kidney stones and even heart disease.

Watch Your Waist

Centenarians are rare, and obese centenarians are like hen’s teeth: They just don’t exist. Keeping a trim waistline is a requirement if you are planning on living to 100. It’s especially important if you’re the type to carry extra baggage in the “belly compartment,” where excess weight contributes more to heart disease, high blood pressure and diabetes.

Get Married

Singles don’t tend to live as long as married people. A 2006 study from the Journal of Epidemiology and Community Health showed that never-married people were 58 percent more likely to die earlier than an age-matched group of married people. Divorced or separated people were 27 percent more likely to die earlier than married people.

Have Faith

When researchers compared occupations with life expectancy, they found that clergymen were among the longest-lived men and nuns were among the oldest women. Although the reasons aren’t yet clear, most centenarians reported having some kind of regular religious practice or belief. (watch out, you atheists !)

Buy the Farm

If you want to live to be very old, and you’ve always dreamed of having your own little organic farm in the Berkshires, now may be the time. Studies show that living out in the country extends life compared with city dwelling.

Cute dog