Sermon : MENGELOLA AMARAH (Yunus 4:1-11)
Arisan Parsahutaon Rasamala, 28 Juli 2008
Pembawa Firman : R.A. Hutapea
Pendahuluan
Manusia mempunyai emosi yang membedakannya dengan mahluk hidup lainnya. Kadang-kadang emosi ini sangat kuat, hingga dapat menjungkir balikkan kehidupan kita. Emosi ini dapat berupa cinta, gembira, sakit, iri dan terlebih-lebih lagi yaitu marah, yang sering sukar kita kendalikan, bahkan mungkin mengendalikan kita. Mengapa kita memiliki perasaan ini ? Dari mana datangnya hal ini ? Ada yang berpendapat bahwa kita mempunyai perasaan ini, karena Tuhan juga mempunyainya. Didalam Alkitab kita juga menemukan contoh-contoh dimana Allah sendiri mengalami emosi semacam ini : kasih, murka, cemburu, senang dan sedih. Emosi ini menjadi bagian dari kita karena dia juga bagian dari Allah, dan kita diciptakan menurut rupa Allah. Namun ada juga orang berkata bahwa kita yang telah ‘memanusiakan’ Allah, yakni menciptakan Allah yang seperti kita, karena kita tidak mengenalNya dengan baik. Tapi jika ini benar, mengapa kita membuatNya Maha Suci ?
Sesungguhnya yang benar adalah ; Allah yang telah menguduskan kita. Dia menciptakan kita menurut rupa Allah, sehingga emosi kita yang terdalampun mencerminkan apa yang terjadi didalam hati Allah. Tetapi dalam perjalanan hidup manusia, kita telah mencemarkan dan menyelewengkan sifat ini dalam hidup sehari-hari, sehingga semakin sulit melihat rupa Allah didalam diri kita. Hasil dari semua ini adalah dunia yang penuh dengan immoralitas, penuh hawa nafsu. Amarah dan dengki duniawi berdampak destruktif, sedangkan amarah Allah selalu menghasilkan kebaikan yang konstruktif. Mari kita pelajari lebih jauh mengenai amarah ini dan nanti mencoba mencari cara untuk menanganinya.
Amarah dalam Alkitab
Allah beberapa kali harus marah kepada manusia yang menjauh dari padaNya (baca Iberani 3:10), yang menyembah illah lain (Deuteronomy 6:11), atau menyembah berhala (Keluaran 32: 9-10). Dalam kasus2 ini dosa manusia itulah yang mendatangkan amarah Tuhan.
Demikian juga Yesus, yang harus marah karena kedegilan kaum Farisi. Dalam Markus 3:5 Yesus menyembuhkan orang pada hari Sabbat, dan mereka lebih mengutamakan hukum mereka daripada kasih Tuhan. Dikatakan disini Yesus melihat pada mereka dengan marah dan kecewa atas kebebalan mereka. Kita juga ingat Yesus yang menjungkirbalikkan barang-barang pedagang yang mencemarkan bait Allah. Musa juga marah atas insiden domba emas itu, dan kalau kita membaca Galatia kita tahu Paulus juga marah karena ajaran sesat didalam gereja.
Dari kasus-kasus itu dapatkah kita melihat jenis kemarahan ini? Ada hal-hal yang pantas dijadikan amarah : yakni apabila ini mengurangi hormat kepada Tuhan. Hasil amarah disini selalu konstruktif : Allah mempunyai rencana keselamatan ; Yesus menyembuhkan orang, membersihkan rumah Allah. Paulus memperbaiki jemaat di Galatia dan membela kebenaran. Artinya ada hal-hal dimana kita layak marah, meski lebih sering kita keliru dalam menyikapi dan menanganinya.
Amarah kita
Akan tetapi amarah dunia atau amarah kita, sifatnya jauh berbeda. Apa yang membuat kita marah dan bagaimana kita bersikap? Cobalah masing-masing kita berfikir dan mengingat sejenak, kapan terakhir kali anda benar-benar marah ? Apa yang menyulut kemarahan itu ? Mengapa anda marah ? Apa yang anda lakukan ? Bagaimana anda mengutarakan kemarahan itu?
Pada hakekatnya secara ekstrim manusia dibagi menjadi dalam 2 kelompok yaitu kelompok yang Mengumbar amarah dan kelompok Memendam amarah.
Pengumbar adalah orang yang langsung bereaksi marah kepada siapapun yang menyinggung pernya. Dia seorang yang temperamen, cepat naik darah. Contoh-contoh di jalan raya, di lapangan olahraga, di airport, stasiun, rumahsakit dll.
Apakah anda seorang yang dikenal galak, judes, bawel, sewotan dll ? Jika demikian maka kemungkinan besar anda seorang Pengumbar. Mari kita baca apa kata Alkitab mengenai ini. (Amsal 29:11 dan Amsal 29:22). Mengumbar perasaan amarah kita, mengamuk, memuaskan hawa nafsu amarah adalah hal yang bodoh, dan sering berakibat dosa. Betapa seringnya kita akhirnya menyesal akibat perbuatan marah ini dan membuat kita kehilangan sesuatu : benda atau persahabatan atau hubungan. Benarlah kata Amsal tadi.
Dikutub ekstrim satu lagi terdapat kelompok Pemendam, yaitu orang yang selalu menyimpan dalam hatinya, bahkan mengubur amarahnya jauh dalam-dalam. Meski kelihatan dia tenang, penuh penguasaan diri, namun orang ini menyimpan suatu benih sakit hati yang selalu bergerak didalam nuraninya. Alkitab juga memperingatkan kita atas adanya kelompok semacam ini. Didalam Efesus 4:26-27 dikatakan agar kita tidak menyimpan amarah kita. Amarah itu tidak akan pergi berlalu demikian saja. Dan tidak akan menjadi lebih baik bila kita biarkan atau cuekin. Memendam, memeram, menyembunyikan diam-diam kemarahan kita akan berakhir dengan dosa yang sering sama bahayanya dengan jika kita mengumbar amarah.
Nah, dapatkan anda mengelompokkan diri anda, Pengumbar atau Pemendam ? Saya merasa saya sendiri lebih tergolong kearah pemendam, meski kadang-kadang suka naik darah juga. Mari kita dengar kesaksian anda ..........
Menangani amarah
Saya mengingat ada film komedi yang dibintangi oleh Robert deNiro dan Billy Crystal yang berjudul ‘Anger Management’. Didalam kisah ini digambarkan suatu proses yang unik bagaimana seorang psikiater memberi latihan-latihan penguasaan amarah pada seorang eksekutif yang jelas sekali tergolong seorang pengumbar. Kelucuan pada film ini terletak pada proses yang terjadi dalam diri si pengumbar ini sebelum dia berubah dan menjadi sembuh. Namun yang diajarkan dalam Alkitab adalah benar-benar teruji dan mengena pada sasaran.
Pertama-tama, seorang pengumbar perlu belajar mengendalikan diri, bagaimana mencegah luapan amarah hingga kepuncaknya. Baca Amsal 16:32.
Si pengumbar perlu melatih diri untuk berfikir dulu baru berbicara. Dikatakan dalam James ‘ Kita harus cepat mendengar, lambat bicara dan lambat marah’ etc etc (Jakobus 1:19-20), Tapi memang sulit menjaga lidah jika darah sudah mendidih (naik ke otak?). Ada yang menggunakan tehnik NASA menghitung balik (countdown) dari 10 hingga 1 sebelum memulai berbicara. Tapi yang terbaik adalah mengucapkan kata-kata tentang buah-buah roh yang ada dalam Galatia 5:22-23. Kita akan sadar bahwa kalau kita marah, maka apa yang kita sedang lakukan adalah justru bertentangan dengan buah-buah rohani yang sedang bertumbuh di hati kita.
Bolehkah kita marah ?
Pertanyaan sekarang : kalau begitu apakah kita sama sekali tidak boleh marah ?
Sudah tentu, ada saatnya kita perlu tegas dan menunjukkan amarah kita. Misalnya orangtua yang marah pada anak2nya, jika mereka sangat nakal, persis seperti yang dilakukan Israel menimbulkan amarah Tuhan. Disiplin dari orangtua justru sangat perlu dalam mendidik anak. Tetapi kita harus selalu menjaga bahwa amarah kita itu terkendali, sehingga kata-kata yang tak pantas jangan sampai terlontar dihadapan anak-anak kita.
Jadi, jangan jadi Pengumbar, namun jangan juga jadi Pemendam, tetapi kita harus dapat mengatasi amarah, bahkan berusaha menyingkirkannya. Caranya?
Kembali pada pertanyaan tadi kita harus tahu dulu apa penyebab amarah kita. Mengapa kita marah ? Ini dapat ditemukan jawabannya dengan berdoa. Kita tak perlu malu membawa amarah kita pada Tuhan, menyerahkan semuanya. Jadi jika anda marah, berdoalah. Saat kita berdoa dan mencoba memahami mengapa kita marah, Tuhan akan menunjukkan apakah kita tak layak marah atau layak atau berhak untuk marah.
Tak layak marah
Kembali pada bacaan nats kita malam ini dari Yunus pasal 4. Dia marah pada Allah, yang menyuruhnya ke Niniveh, negeri penuh dosa itu. Kenapa sekarang Allah malah menyelamatkannya? Ini tidak sesuai dengan pemikiran teologis dia dan dia pantas marah pada Tuhan. Maka Tuhan berkata : Apakah kamu layak untuk marah padaku ? Yunus 4:1. Allah melihat Yunus tidak layak untuk marah. Allah adalah Allah yang dapat menyelamatkan siapapun yang Dia mau. Mendapat pertanyaan itu, Yunus tidak dapat menjawab, oleh karena itu Allah memberinya suatu pelajaran tentang amarah.
Dalam nats itu Yunus duduk memandang kota itu sambil menunggu apa nubuatnya akan terjadi dimana Allah akan menghancurkan kota itu. Hari sangat panas dan kering, jadi dia senang sekali ketika Allah menciptakan pohon vine melindunginya. Tapi keesokan harinya dia begitu marah ketika pohon itu mati dan kembali dia diterpa angin yang kering panas itu. Dia kembali marah. Allah bertanya lagi ”Apakah kamu berhak marah perihal pohon itu? Yunus 4:9. Jelas dia tidak berhak marah. Allah telah memberkatinya untuk sehari itu, dan mengambilnya hari esoknya. Kalau Yunus bijak maka dia akan beroleh hikmat dari pelajaran ini dan menyadari bahwa dia tak layak marah pada Tuhan. Tetapi dia tidak belajar apa-apa, dia malah berkata dia berhak untuk marah.
Kita juga demikian, sering kita marah kalau kenyamanan kita terganggu atau diambil. Kita terlalu egois, mementingkan urusan sendiri, melihat suatu kejadian hanya dari sudut pandang sendiri. Kemarahan kita terjadi jika kenyamanan kita diganggu. Jika kita mencoba memandang sesuatu dari sudut pandang Allah, maka kita akan sadar bahwa reaksi kita seyogyanya bukan marah, melainkan bertobat. Dengan sudut pandang ini maka amarah itu tidak lagi akan mengganggu kita.
Layak untuk marah
Tetapi ada kalanya, dari hasil doa-doa pribadi kita, kita ditunjukkan bahwa kita benar berhak untuk marah. Mungkin karena seseorang telah benar-benar menyakiti kita ; atau marah karena melihat seseorang diperlakukan sangat tidak adil.
Dalam kasus pertama, jika seseorang benar-benar menyakiti anda, maka hanya satu hal yang harus kita lakukan. Apa?
Bukan membalasnya, tetapi memaafkannya. Seorang Kristen, yang telah diampuni, maka diapun harus mengampuni mereka yang menyakiti kita. Doa Bapa Kami itu kadang-kadang sangat sulit dilaksanakannya. Tuhan telah mengampuni segala dosa kita melalui kematian AnakNya. Dalam Efesus 4:31-32 dikatakn supaya kita membuang sifat-sifat itu dari diri kita. Memang sulit sekali melakukannya, sakit sekali, atau mungkin dicemoohkan dipermalukan. Persis seperti yang dialami Yesus dikayu salib. Tak ada opsi lain bagi orang Kristen selain memaafkan. Meski pedih, namun lambat laun amarah kita akan sembuh.
Dalam kasus kedua, dimana kita marah melihat orang lain diperlakukan semena-mena, maka amarah itu perlu ada sebagai motivasi untuk memperjuangkan keadilan dan berbuat sesuatu. Amarah yang terkendali adalah hal-hal yang membuat kita terus berjuang bagi prinsip-prinsip yang mulia seperti melawan kejahatan, memperjuangkan kemerdekaan atau HAM, melawan penindas, korupsi, terorisme, narkoba dll. Inilah yang dilakukan Yesus dengan amarahNya. Mungkin Tuhan juga yang menaruh amarah itu didalam diri anda, sebagai passion atau semangat. Dalam hal itu, gunakanlah energi dalam amarah itu, namun selalu menjaga diri dekat pada Tuhan, karena nafsu amarah sangat mudah membelokkan cita-cita kita. Seperti dikatakan dalam Efesus 4:26 : Marahlah, tetapi jangan kau berdosa !.
Kiranya Tuhan memberkati kita semua. Amen.
Friday, July 25, 2008
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment