Monday, March 31, 2008

Mengukur kompetensi bangsa


Kasus gugat menggugat perihal keabsahan ijasah Gubernur Banten, Ratu Atut yang dipermasalahkan keautentikannya oleh Marissa Hague, seorang anggota dewan yang kebetulan menjadi kontestan pilkada didaerah tersebut masih berlangsung. Lepas dari siapa yang benar, dan sebesar apa nuansa politik atau motif lain dibalik kasus ini, kita jadi tersadar lagi tentang kemungkinan masih banyaknya kasus gelar akademik palsu ditengah masyarakat kita. Didunia pendidikan sendiri akhir-akhir ini kita mendengar banyaknya guru-guru yang berusaha dengan cara apapun untuk memperoleh gelar sarjana untuk mendapatkan sertifikasi guru. Siapa yang mau disalahkan disini, sudah tidak perlu diwacanakan lagi.

Beberapa tahun yang lalu kita membaca gencarnya berita mengenai ditutupnya beberapa institut perguruan tinggi ilegal yang selama ini menjual gelar mulai dari S1 hingga PhD, bahkan gelar Profesor. Sebuah perguruan tinggi yang menamakan dirinya IMGI (Institut Management Global Indonesia) yang bekerjasama dengan sebuah ‘bogus’ university di Amerika, Northern California Global University, telah berhasil menghasilkan 9273 lulusannya, yang antara lain terdiri dari 1060 doktor, 288 PhD, 2999 MBA dan bahkan 103 Profesor sejak tahun 1997 hingga 2004 . Sungguh memalukan ! Konon, jumlah perguruan tinggi yang cari makan dengan menjual kertas ijasah ini ada sekitar 60an. Kertas yang nilainya tak berbeda dengan tissu kamar mandi itu bisa dijual dengan harga yang bervasriasi mulai dari Rp. 500.000an sampai 10 jutaan. Ironisnya, hal ini sudah berlangsung belasan tahun didepan hidung kita, tanpa kita mampu berbuat apa-apa. Pasalnya, banyak peminat yang membeli ijazah-ijasah palsu tersebut berasal dari pemerintahan, termasuk menteri, bahkan seorang mantan wakil presiden, dan tak sedikit pula pejabat daerah termasuk anggota-anggota legislatif. Barulah sekarang hukum mulai ditegakkan dengan ditangkapnya beberapa tokoh pemilik maupun managemen dari perguruan tinggi itu. Bahkan Departemen Pendidikan Nasional merencanakan akan mengusut semua pemakai-pemakai gelar palsu itu, yang diperkirakan sudah mencapai angka 30.000 orang. Suatu realita yang memprihatinkan dan menampar pipi kita pada saat kita yang waktu itu merayakan 60 tahun kemerdekaan bangsa yang kita cintai ini. Tak heran mengapa produkvitas bangsa kita demikian rendah, dengan daya saing yang berada pada urutan rendah dari sejumlah bangsa-bangsa. Masyarakat kitapun sudah terbiasa dengan kualitas SDM yang pas-pasan, bahkan yang tak ada ‘isinya’ sama sekali, karena dengan hanya bermodalkan kertas ijazah sudah dapat memasuki pasar kerja, termasuk dikalangan PNS. Sudah bukan rahasia, banyak pegawai negeri yang memasuki sekolah atau Universitas ‘pinggir jalan’ tersebut, hanya supaya boleh naik pangkat. Mutu pekerjaan sudah tidak menjadi ukuran lagi, karena tidak pernah diuji dengan baik. Ijasah atau sertifikat pendidikan semacam ini jelas tidak memadai lagi untuk menjadi indikator kemampuan seseorang memasuki pasar tenaga kerja apapun, baik didalam negeri, apalagi di luar negeri. Dengan demikian yang diperlukan adalah sertifikasi kompetensi kerja seseorang yang bersifat universal, dan sertifikat ini harus diperoleh melalui suatu uji kompetensi yang baik . Penyelenggaraan uji kompetensi kerja bagi profesi inilah yang menjadi tanggung jawab bersama, baik pemerintah, dunia profesi, komunitas kerja, perguruan tinggi.

Standar kompetensi kerja


Untuk memperoleh tenaga kerja yang kompeten dan dapat berdaya saing didalam maupun luar negeri, diperlukan penataan yang menyeluruh dari seluruh jenis profesi dan okupasi yang menjadi tulang punggung roda pembangunan bangsa kita. Kita perlu manusia Indonesia yang berprestasi, bukan yang menyandang sederet gelas. Kita ingin memiliki insinyur yang terampil, perawat yang sigap, pelaut yang piawai , manager yang handal, bahkan peneliti dan pendidik yang ahli dibidangnya dan berbagai profesi kerah putih lainnya. Kita perlu juga tenaga kerah biru yang cekatan, tukang tembok, tukang las, montir, sopir, bahkan penatalaksana rumah tangga, baby sitter, pengasuh lansia yang banyak diminati di luar negeri. Jumlah pengangguran di negara kita tidak dapat diatasi dengan mengisi pasar tenaga kerja yang bermodalkan otak kosong, tangan hampa kecuali memegang selembar kertas ijasah belian. Yang diperlukan adalah tenaga kerja terampil dan memiliki kompetensi tertentu. Sayangnya, dunia profesi sendiripun belum siap dengan standar kompetensi yang dibutuhkan, sehingga setiap perekrutan masih bersifat lokal dan tak terukur. Standar kompetensi yang merupakan bagian dari standar profesi adalah acuan untuk menguji kemampuan seseorang, dan seseorang akan diberikan sertifikasi kompetensi sesuai dengan kemampuannya. Standar profesi yang terdiri dari 4 unsur yaitu standar pendidikan, standar kompetensi, standar pelayanan atau praktek, dan kode etik profesi merupakan perangkat yang harus dilengkapi oleh setiap profesi dan okupasi agar mampu berprestasi dengan maksimal, dan berdaya-saing di ajang lokal maupun internasional. Standar kompetensi ini yang nantinya akan dibakukan sebagai Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI) bagi tiap profesi akan dapat menjadi pegangan kita dalam proses rekrutmen, penggajian, seleksi tenaga kerja asing, bahkan persyaratan memasuki pasar tenaga kerja di luar negeri.

Badan Nasional Sertifikasi Profesi

Pemerintah sesungguhnya sudah menyadari perlunya suatu koordinasi yang baik dalam menangani masalah tenaga kerja melalui sertifikasi kompetensi itu. Peningkatan daya saing tenaga kerja Indonesia di pasar kerja global memerlukan strategi yang tepat yaitu dengan menjamin standar kualitas tenaga kerja yang diakui secara nasional maupun internasional serta mendorong lembaga pelatihan dan pendidikan kejuruan untuk melakukan pelatihan/pendidikan kejuruan dengan berbasis pada kompetensi yang diakui oleh masyarakat industri baik nasional maupun internasional. Oleh karena itu maka strategi pengembangan pelatihan ke depan adalah dengan menggunakan skala prioritas pada jabatan-jabatan stratejik yang sudah memiliki standar kompetensi yang diakui dan mengembangkan standar kompetensi tenaga kerja serta membangun kelembagaan yang efektif yang dapat melibatkan masyarakat industri secara optimal.

Oleh karena itu berdasarkan amanat UU No. 13 tentang Ketenagakerjaan, telah dibentuk Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP), suatu badan independen dibawah Presiden, yang bertanggung jawab dalam penyelenggaraan sertifikasi profesi. Dalam pelaksanaannya Badan yang beranggotakan 25 orang ini, yang terdiri dari 10 orang wakil dari Pemerintah dan 15 orang wakil dari Swasta/Kadin, akan mengkoordinasikan pelaksaanaan sertifikasi melalui LSP-LSP (Lembaga Sertifikasi Profesi) yang berasal dari insan-insan profesi itu sendiri. Paradigma yang diharapkan dari sistem ini adalah bahwa gelar akademis bukanlah segala-galanya, bahkan hanya salah satu cara untuk memperoleh keterampilan. Hasil akhir dari kerja LSP-LSP ini adalah peningkatan jumlah dan mutu tenaga kerja yang kompeten, yang dapat mengisi pasar kerja didalam dan di luar negeri.

Tindak lanjut pemberantasan ‘pabrik’ gelar palsu.

Kita menantikan apakah pemerintah berani melaksanakan tindakan pembersihan birokrat dari pemakai gelar palsu itu dan menindak mereka sesuai peraturan yang berlaku. Apabila tidak, maka tren ini akan berulang lagi di masa mendatang dan mutu SDM kita tak akan pernah mengalami peningkatan yang berarti secara nasional. Disini berlaku hukum ‘supply and demand’, banyaknya peminat gelar asalan ini akan terus mendorong timbulnya bisnis serupa. Perlu perubahan dalam sistem rekrutmen baik di instansi pemerintah maupun swasta, berupa penelitian yang cermat asal usul ijasah seseorang. Dan sekali lagi, apabila kita ingin memberantasnya, maka demand dari masyarakat perlu dibendung. Cara yang paling ampuh adalah dengan tidak memberi ampun pada pemakai gelar palsu selama ini. Mereka harus diidentifikasi, diberi teguran, dicabut dari jabatannya, diberi hukuman moral tanpa harus menjalani hukuman badan. Dengan demikian, maka masyarakat akan jera, dan perguruan tinggi petualang semacam IMGI yang namanya Institut Management Global Indonesia tidak digantikan oleh berbagai jenis ‘Insititut Manusia Gombal Indonesia’ lainnya.


No comments: