Banyak orang memberi komentar atas kejadian polisi menembak polisi dan orang ditembak polisi baru-baru ini. Konon katanya akar masalahnya antara lain adalah soal mutasi yang pasti berakibat hilangnya lahan rejeki selama ini. Namun fenomena semacam ini berlangsung juga ditempat-tempat lain dengan modus yang berbeda tapi prinsipnya sama. Sudah tidak menjadi rahasia lagi bahwa praktek setor menyetor sudah hidup subur di negeri ini sejak lama. Mulai dari tukang pulung, tukang parkir, supir bus, taksi, kepala desa dan pamong umumnya, pedagang kecil, pencari sekolah, hingga ke polisi, pemimpin proyek, anggota dewan, kepala daerah dst dst. Hampir semuanya terbelenggu dalam sistim setor menyetor upeti yang memaksanya harus mengikuti irama permainan ini kalau mau selamat dan kalau mau 'dapat'. Orang sebersih apapun akan sulit bertahan lama dalam suasana seperti ini. Pemeo berkata 'If you cannot beat it, join it !' Tak heran jika lama-lama lahir istilah korupsi yang 'membudaya' yang sesungguhnya tidak terlalu keliru. Akibatnya terjadilah korupsi berjamaah. Keadaan semacam ini menjungkir-balikkan logika dan norma yang berlaku ditengah masyarakat. Seorang anak kecil yang masih jernih berpikirnya namun sudah mulai berfikir kritis akan bertanya 'Bagaimana seorang jenderal dapat pensiun dengan memiliki tanah kebun berhektar-hektar dan koleksi barang antik atau lukisan, rumah dan mobil mewah dimana-mana?' Atau seorang pegawai menengah Imigrasi atau Pajak punya mobil mewah dan isteri lebih dari 1, yang semua diberi rumah dan harta melimpah dengan rekening tabungan di berbagai bank. Bukankah mereka hanya hidup dari gajinya ? Berbeda dengan pedagang, pengusaha, pewaris jutawan, atau profesi elit seperti pengacara beken, artis tenar atau dokter ahli jantung dsb. Merekalah yang boleh kaya tanpa dicurigai oleh orang lain. Diluar profesi itu orang wajar mempertanyakan. Betapa sering kita lihat mantan pejabat Pertamina, bank atau BUMN yang hidupnya bagaikan selebritis bergelimang harta. Begitu juga bila ada polisi, jaksa, hakim, atau pejabat negara lainnya yang melayani masyarakat yang cenderung tergoda dan takluk dalam kilaunya rupiah sehingga tidak mengenal malu atau rikuh berbuat salah atau dosa. Lama kelamaan perilaku ini sudah dianggap lumrah saja dan pelakunya sama sekali tidak merasa melanggar kaidah-kaidah moral dan agama. Bahkan tidak sedikit justru pejabat dilingkungan keagamaan ini juga terbukti melakukan korupsi dan pemerasan. Lucu sekali, begitu kasat mata perilaku korupsi di negeri ini, tetapi sedikit sekali koruptor yang ditindak. Lama kelamaan proporsi orang yang korupsi dan yang tidak korupsi semakin tinggi dan bangsa ini tidak akan terselamatkan lagi dari jurang kehancuran. Anak kecil yang tadi masih jernih itu akhirnya akan kehilangan sense of moral value, dan menyerah pada lingkungan bobrok itu. Maka dia sendiripun mengalami moral corrupt yang akan terus membentuknya hingga dewasa. Mereka inilah yang kelak akan menjadi jatidiri generasi penerus bangsa Indonesia yang kita harapkan. Disinilah kita sebagai pemimpin harus mulai hati-hati dalam melakukan upaya perbaikan. Upaya yang biasa-biasa saja sudah tak mempan lagi. Harus ada kemauan dan keberanian yang luar biasa, meski harus tetap dijalur hukum. Apabila tangan hukum sudah tidak berdaya lagi merubah semua ini, maka tidak akan ada lagi harapan bagi bangsa ini. Berzikir itu baik, namun perlu perubahan yang mendasar dalam perilaku. Dan barangkali perilaku itu hanya bisa terbentuk bila disertai kesadaran hukum dan penegakannya yang tegas tanpa kompromi. Bobroknya moral pada banyak anggota legislatif, judikatif dan eksekutif yang semakin terbukti belakangan ini bagaikan puncak gunung es yang sedikit demi sedikit akan terkuak. Suatu saat gunung ini pasti akan menghadang semua program pembangunan bangsa sehingga tidak ada jalan lain bagi pemimpin yang mengemban kepercayaan dari rakyatnya. Sebelum hal ini terjadi dia harus berani melakukan apa yang menurutnya benar, dan mendengarkan kata hatinya yang murni. Hidup ini hanya sekali, hendaknya dipakai dengan benar, karena pertanggung jawabannya kelak bukan pada lembaga DPR/MPR atau lembaga apapun tetapi kepada rakyat, yang sesungguhnya adalah suara Tuhan. Suatu bangsa akan selalu mengenang pemimpinnya yang bersih hingga berpuluh-puluh tahun kemudian. Seorang Hugeng misalnya kita tetap kenang sebagai polisi yang bersih, Moh. Hatta seorang wakil presiden yang berjiwa besar. Dan masih ada beberapa tokoh lagi yang dapat menjadi panutan bangsa. Kita berharap bangsa ini suatu saat akan diberi kebanggaan boleh mengenang seorang Presiden yang berani menegakkan hukum yang berpihak pada rakyat. Semoga.
Tuesday, April 1, 2008
Budaya setor dalam rantai korupsi yang akan menghancurkan masa depan bangsa
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment